Minggu, 23 November 2008

Bgm Campur baur wanita dan laki di tempat kerja ?

Assalamu'alaikum wr. wb. Ustad Baz,

Saya masih awam dengan aturan atau hukum kerja bagi wanita. Mohon penjelasan lebih lanjut. Untuk kasus seperti dibawah, bagaimana jika wanita tetap memakai jilbab tetapi bekerja campur baur dengan laki-laki non-muhrim (kalau tidak salah disebut dengan ikhtilath), seperti misalnya bekerja dalam satu ruangan yang isinya campur baur laki-laki dan perempuan, atau mengerjakan suatu pekerjaan bersama-sama antara laki-laki dan perempuan. Secara Islam, bagaimana hukum tentang hal ini Ustad?. Apakah wanita tetap diperbolehkan bekerja?. Yang terjadi di tempat saya bekerja adalah seperti diatas Ustad, tetapi orang menganggapnya itu hal yang lumrah karena sudah demikian halnya yang terjadi dimana-mana. Saya pribadi masih belum menerima sepenuhnya hal ini sebelum mendapatkan dalil Al-Qur'an, hadist Nabi SAW, atau ijtihad ulama yang menjelaskan tentang ini. Hal seperti ini mungkin juga terjadi di tempat kerja rekan-rekan sekalian. Terima kasih atas penjelasannya. Semoga saya bisa lebih memahami persoalan ini dengan bantuan dari Ustad Baz dan juga rekan-rekan sekalian.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Abdullah Ikhlas

*****************************
Jawab :

Bismillahirrohmanirrohim,
Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh,

Ana mencoba menjawab mas, namun mudah2an masih banyak ust lain yang bisa melengkapi jawaban ini. Begini mas Abdullah :

Masalah campur baurnya laki dan perempuan dalam suatu majelis itu memang sebenarnya masih menjadi ikhtilaf (perbedaan pandangan) diantara beberapa kalangan. Adapun kalangan yang membolehkan adalah dengan dalil bahwa : selama bekerja itu tidak menampakkan aurat tidak jadi masalah, atau pekerjaan yang lakukan oleh profesi2 tertentu misalnya rumah sakit, maka tentu membutuhkan tenaga laki dan perempuan yang kadang harus campur baur. Juga adapakah profesi di pabrik yang mana untuk tenaga keras dibutuhkan laki2 yang kadang harus nyampur dengan perkerjaan wanita.

Namun ada juga yang melarang atau mengharamkan sifat pekerjaan itu dilakukan dalam keadaan campur baur laki dan perempuan. Dasarnya adalah merupakan larangan Allah sejak nabi kita Muhammad menerima wahyu. Dalil itu bisa didapatkan dari QS An-Nur (31) : bunyinya : "

31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. 24:31)


Dari ayat ini jelas bahwa wanita hanya diperkenankan memperlihatkan aurat kepada mukhrimnya saja, sehingga bagi yang tidak mukhrim hal tersebut menjadi dilarang.

Yang menjadi persoalan, apakah ketika pekerjaan itu terjadi adanya campur baur antara laki dan perempuan seperti di tempat anda bekerja ada jaminan bahwa :
1). Si wanita auratnya bakal terjaga terus sehinga bisa dijamin kehalalannya dalam ikhtilat tsb
2). Apakah masing2 gender, mampu dan tahan atas nafsu syahwatnya masing, sehingga tidak akan melirih dan barang kali bisa ada yang jatuh hati ??
3). Apakah jenis pekerjaan itu bisa menjamin tidak ada kontak phisik masing2 gender ??

Jika 3 hal tersebut tidak ada yang bisa menjamin, maka seyogyanya sifat perkerjaan yang mengandung ikhtilat (campur baurnya) laki perempuan dalam suatu pekerjaan bisa dihindari. ATau minimal dirubah sistim lay-out dalam pekerjaan atau raouting pekerjaan bisa di buat sistim yang baru, sehingga menghindarkan ketemunya laki dan perempuan dalam 1 ruang. Kalau pertanyaanya, lho pak tempat kami bekerja itu sudah sejak jaman belanda konsepnya yha seperti itu yaitu campur begitu !!!. Yha itulah konsep yang salah kaprah entah itu sengaja atau tidak yang jelas sifat pekerjaan spt itu tidak islami dan cenderung melawan syariat. Mudah2an bagi anda-anda yang sekarang bekerja dalam suasana campur baur spt itu, mintalah ke direksi atau mgr produksi agar sistem routingnya / layoutnya dirubah agar pekerjaan kita lebih barokah. Kalau tidak diijinkan yha cobalah cari pekerjaan lain yang tidak terdapat ikhtilat spt itu .................... masih banyak pekerjaan yang bisa menawarkan tidak campur baurnya antara laki dan perempuat spt yang anda alami sekarang ini. Mintalah petunjuk Allah dan berdoalah agar diberikan pekerjaan yang barokah dan jauh dari maksiat. Walahualambisowab.

Demikian sekilas jawaban ini mudah2an bermanfaat, dan jika ada ust lain yang mau menambahkan silahkan, sukron. Wassalamualaikum wr wb


baz

1 komentar:

alimutohar13 mengatakan...

Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuuri ditanya.

Soal:
“Apakah boleh seseorang belajar di sekolah atau perguruan tinggi yang ikhtilath (terjadi di tempat tsb ikhtilath)?”

Jawab:
“Belajar di PT, Tsanawiyah dan madrasah apapun bentuknya jika terjadi di tempat tersebuth ikhtilath hukumnya adalah haram, tidak diragukan lagi keharamannya. Fatwa-fatwa yang dilontarkan (untuk membolehkan belajar di tempat-tempat tersebut-pent) adalah fatwa yang khianat, menipu kaum muslimin, penipuan terhadap dirinya dan orang lain.
Ini adalah fatwa yang “melangkahi” dalil dan merupakan kejahatan terhadap Islam dan kaum muslimin. Ini adalah fatwa yang batil karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam berkata:
“Hati-hati kalian masuk ke tempat wanita (yang bukan mahram)!” Para shahabat berkata, “Wahai Rasulallah, bagaimana dengan ipar?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam berkata, “Ipar adalah maut.” (Mutaffaqun ‘alaihi dari hadits Uqbah)
Fatwa ini terbantah oleh ayat Allah (artinya):
“Apabila kalian minta sesuatu kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang hijab. Itu lebih suci bagi (hati) kalian dan (hati) mereka. Dan tidak boleh kalian menikahi mereka selamanya setelah Rasulullah wafat. Sungguh perbuatan tersebut sangat besar (dosanya) di sisi Allah.”(Al Ahzab 53)
Sisi pendalilan dari ayat ini, “Mintalah dari belakang hijab”
Fatwa tersebut juga terbantah (tertolak) oleh dalil-dalil yang mengharamkan jabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Padahal tidak diragukan lagi terjadinya hal-hal tersebut di tempat-tempat belajar yang ikhtilat.
Fatwa ini juga terbantah oleh dalil haramnya memandang wanita yang bukan mahram. Allah Ta’ala berfirman (artinya):
“Katakanlah kepada kaum mukminin, hendaknya mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Hal tersebut lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tahu apa yang kalian lakukan.”
Tidak mungkin dia menundukkan pandangan ketika belajar satu kelas dengan seorang wanita atau berpapasan dengannya di tangga. Omong kosong kalau dia berkata bisa menundukkan pandangannya. Bahkan terjadi pula obrolan dengan ucapan yang lemah lembut. Padahal Allah Ta’ala berfirman (artinya):
“Janganlah (kaum wanita) melembutkan suaranya ketika berbicara. Karena itu akan menimbulkan “hasrat” laki-laki yang di hatinya ada penyakit. Hendaknya mereka berkata dengan ucapan yang ma’ruf.”
Fatwa tersebut juga terbantah oleh hadits Ummu ‘Athiyah, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam memerintahkan untuk mengeluarkan kaum wanita ke musholla untuk melihat dakwah muslimin. Dan memerintahkan mereka untuk memisahkan diri dari musholla kaum muslimin.
Juga terbantah oleh hadits Ummu Salamah, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam jika selesai salam dari sholatnya, duduk sejenak di tempat sholatnya memberi kesempatan kaum wanita keluar terlebih dahulu.” Beliau berkata:
“Shaf laki-laki yang terbaik adalah yang terdepan dan yang paling jeleknya adalah shaf yang terakhir. Shof wanita yang terbaik adalah yang paling akhir dan yang paling jeleknya adalah shaf terdepan.”
Fatwa tersebut juga terbantah dengan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, “(Alangkah bagusnya) kalau mereka jadikan pintu ini khusus untuk wanita.” Sejak saat itu tidak pernah masuk masjid melalui pintu tersebut sampai beliau wafat.
Fatwa tersebut terbantah oleh banyak dalil dan telah saya sebutkan di kaset tersendiri. Aku tidak tahu, apakah orang-orang yang berfatwa seperti ini menyadari apa yang kelua dari kepala mereka atau tidak? Apakah mereka sadar dirinya pantas untuk berfatwa atau tidak? Dan juga apa mereka merasa berfatwa dengan ilmu agama atau dengan hawa nafsu? Kalau mereka mengakui telah berfatwa dengan ilmu agama, berarti telah dusta karena mereka tidak berfatwa dengan dalil.
Kalau mereka mengaku telah berfatwa dengan hawa nafsu, maka saya katakan, fatwa mereka ini memang murni hawa nafsu. Adapun orang yang menyatakan, “Tak mengapa belajar di PT yang ikhtilath agar bapak/ibumu tak marah kepadamu”
Ketahuilah, “Sesungguhnya keta’atan kepada makhluk, hanyalah dalam perkara yang ma’ruf.” Tidak boleh taat kepada makhluk dalam perbuatan yang maksiat kepada Allah. Hasbunallahu wa ni’mal wakil.
Tidak diragukan lagi, da’i kepada kebatilah jumlahnya banyak. Akan tetapi Allah berfirman (artinya):
“Maka kami lontarkan yang hak kepada yang batil (kebatilan) untuk menghancurkannya. Maka hilanglah kebatilan”
Aku kira tidak ada yang berfatwa seperti ini kecuali orientalis. Dan dalil-dalil yang ada semuanya membantah dan meruntuhkannya.
Tidak diragukan lagi bahwa fatwa ini tidak bersumber dari ilmu dan bukan dari seorang yang berakal yang tahu apa yang maslahat dan bermanfaat untuk islam dan muslimin. Alhamdulillah.
Sumber: http://my.opera.com/infodammaj/blog/2007/11/28/hukum-belajar-di-tempat-ikhtilath